Biarkan kau berlari dan terus berlari tanpa memerdulikan detak jantungku. Ini adalah jalan menikung berbatu. Meski aku tahu lelaki beraura violet sedang menungguku di persimpangan jalan.
Engkau duduk di tanah dengan rumput membeku. Membaca roman picisan untuk menghilangkan gelisahmu. Entah apakah kita bisa bertemu. Bahkan terakhir kali aku tak bisa berbicara denganmu dengan hati dewasa. Warnaku yang abu akan tertelan dengan aura violet yang menusuk.
Tarianku mulai terhenti. Begitulah hidupku yang kini mulai tak berjalan lancar. Sebenarnya sudah sejak dulu, hanya saja, sekarang aku yang dipermainkan makna. Aku tak lagi mempunyai mimpi. Seperti tak mati tapi kehilangan diri.
Baca Juga: Kisah: Fragmen Ingatan (16)
Ini buruk, bukan? Jarak kita semakin jauh. Punggungmu yang kokoh mulai tak terlihat. Jiwaku masih saja kecil. Aku mungkin tak lagi dapat menepati janjiku. Mau bagaimana lagi, aku yang sekarang lebih nyaman bersembunyi, seperti gerimis yang melepas janji dengan anggun.
Saat dipenuhi ketidaktenangan ini, aku ingin bercerita padamu sekali lagi, meski kau takkan mendengar. Bahwa ada seekor burung camar yang mengurung diri di sebuah kamar. Di dalam sana tak ada kata bernama duka.
Ia nyaman saja meski kadang terlunta-lunta di tempat yang sama, toh tak ada yang melihat. Hanya dirinya yang akan berduka dan bersorak setelahnya.
Imajinasinya menyembuhkan segala luka. Burung manyar itu bisa menciptakan pesta setiap malam—dengan dirinya sendiri.
Sering kali hiruk pikuk dari luar menggoda, memantulkan gema yang mengganggu tidurnya. Sayangnya ia terlalu takut, bahkan untuk sekadar membuka jendela.
Artikel Terkait
Ditanya Mahar, Kaesang Jawab Lucu: Rp300 Ribu Saja, Rp100 Juta Mahal
Hanya dengan Melihat Ini, Siapa Pun Bisa Bedakan SPBU COCO, CODO, dan DODO
Lord Rangga Petinggi Sunda Empire Meninggal Dunia, Warganet Berduka
MUI Tegaskan Aksi Terorisme dan Bom Bunuh Diri Hukumnya Haram
Pelaku Bom Bunuh Diri Sebut Surat 9 Ayat 29, Awas Jangan Salah Tafsir!