Aku tak sempat membalas pesan terakhirmu karena berusaha mati-matian mencari celah, melawan pemahaman diri sendiri: tak mungkin kan kau menyarah dengan hidupmu? Meski kutahu memang selalu berpura-pura sangat lelah, tetapi lelaki beraura violet yang kutahu masih bisa tertawa sesekali.
Aku ingin membalas pesanmu, tapi masih menimang-nimang kata apa yang bisa menjawabmu. Setiap frasa adalah belati yang menyayat kedua matamu. Lelaki beraura violet yang punggungnya koyak itu, apakah bisa bertahan dari berondongan fragmen-fragmen ingatan?
Bagaimana bisa saat sedang butuh jawaban, aku malah memikirkan banyak pertanyaan seperti ini? Apakah lelaki beraura violet itu, masih ingin mempertahankan warnanya dan tak ingin menjadi abu?
Baca Juga: Kisah: Fragmen Ingatan (15)
Masih banyak "apakah-apakah" lain, namun aku memilih lari dengan tulisanku daripada menemuimu. Mengapa? Sekarang tak ada yang lebih penting dari tetap menyalakan catatan tentangmu.
Kau tahu, itulah yang kelak akan kubawa saat mengunjungi kuburmu. Aku akan melanjutkan kisahmu yang kini telah dibaca beberapa orang.
Sekarang aku tahu bahwa beban, kekecewaan, kesakitan, dan kepahitan hati bisa ditulis dengan bahasa paling romansa seperti ini.
Kepercayaan kecil ini bisa menjadi pelukan yang sarat cinta dan sepanas napas kering maut yang mencekik lehermu. Rasanya seperti kau hampir mati setiap malam. Namun setiap pagi matamu terbuka.
Kau tahu maut hanya datang melecut luka-luka, kemudian pergi setelah lelah. Baginya, kau hanya barang sewa untuk menguar kebosanan.
Artikel Terkait
Cristiano Ronaldo Sepakat Gabung Klub Arab Saudi Al Nassr, Nilai Kontraknya Triliunan Rupiah
Mengenal Arti Warna dalam Psikologi dan Filosofinya
Kisah Stanford, Sesal dari Baju-Baju yang Memudar
Cerita Lucu di Tenda Sakinah: Panitia Mau Pasang Jadwal Pemakaian, Pasutri Ogah karena Malu
Kenali Penyebab Jerawat Punggung dan Bagaimana Cara Mengatasinya