Aku lahir dari keluarga Jawa-Padang, berkecukupan, dan terpandang. Ayah pensiunan militer, meski tidak berpangkat cukup tinggi. Setelah pensiun, ayah menjadi ketua takmir masjid. Posisi itu membuat keluarga kami cukup disegani, apalagi ayah pun termasuk pandai berceramah agama.
Dalam kondisi itulah aku lahir, sebagai anak bungsu dari 4 bersaudara. Lepas SMA, aku melanjutkan kuliah di sebuah PTS di Semarang, mengambil fakultas ekonomi.
Wajahku tidak cantik, meski beberapa orang mengatakan cukup manis. Tapi, harus kuakui, tubuhku tumbuh nyaris sempurna. Sintal, lencir, padat, dengan kulit yang bersih. Apalagi, bulu-bulu halus yang menumbuhi lengan sangat menambah baik penampilanku.
Banyak pemuda yang memandang tubuhku dengan mata kagum. Dan aku sendiri mulai menikmati dan bangga dengan pandangan itu. Meski ibu sering menasihati agar aku tak selalu mengenakan jeans ketat, tapi tetap saja jika ada acara khusus, atau ke kampus, jeans dan kaos ketat adalah pilihan utamaku. Hanya kepada ayah saja aku takut, karena beliau tak pernah marah. Pandangan matanya sudah membuat aku ngeri.
Meski begitu, aku termasuk sering ke masjid, dan suka mengikuti pengajian.
Baca Juga: Di Tengah Euforia Timnas U-22, Erick Thohir Diminta Netizen Peduli dengan Kurnia Meiga
Sejak SMA, aku telah punya pacar, meski hanya bertahan beberapa lama saja. Dan, ketika aku semester 4, seorang teman mengenalkan aku dengan Rudi Faisal, mahasiswa Teknik. Orangnya tinggi, bersih, dan gagah, tipe idealku. Dan, kami cepat sekali jadi dekat, 2 bulan kemudian, kami resmi pacaran.
Bersama Rudi aku bangga sekali. Dia pun amat memanjakanku. Beberapa kali dia ke rumah, dan orang tua cukup menerima kehadirannya. Cuma, seperti biasa, ayah tak banyak bicara.
Gaya pacaran kami semula biasa. Tapi, lama-lama, aku tahu, Rudi telah cukup berpengalaman. Dan, suatu hari, aku terlena, dan kami pun berhubungan layaknya suami istri.
Setelah itu, nyaris kami tak pernah berhenti, terus berlaku seperti suami istri. Aku sempat takut, tapi perasaan itu hilang dengan sendirinya, terutama jika sudah bersama Rudi.
Selama setahun hubungan kami melenggang dengan nyaman. Tapi, di bulan Agustus tiga tahun lalu, haidku tak datang. Aku pucat. Rudi mencoba menenangkanku, dan seperti biasa, jika haidku telat, pasti ia menyarankan aku menenggak puyer obat sakit kepala, pil pelancar haid, dan sebotol minuman penambah energi.
Tapi, kali ini tak ada reaksi. Dan ketika kuberanikan diri memeriksa ke laboratorium, ya Tuhan..., aku hamil!
Dunia serasa runtuh. Rudi memang mencoba menenangkan dan terus mendampingi. Tapi, aku juga tahu, dia sangat gugup dan takut.
Aku hanya menangis, menyesali perbuatan kami. Bahkan, saat itu, ingin rasanya aku bunuh diri saja. Sudah terbayang wajah ayah yang begitu keras mengajar mengaji dan ibu yang selalu membela jika ayah memukul pantatku terlalu keras, waktu kecil dahulu.
Ketika Rudi kuminta untuk bicara pada orangtuaku, dia mengelak, takut. Aku pun tidak berani. Sampai akhirnya, setelah bayi itu bersarang nyaris 3 bulan (ibu senang sekali setelah aku tidak lagi sering memakai pakaian ketat, padahal itu untuk menyembunyikan kehamilanku), Rudi mendantangiku dan dengan setengah menangis ia memintaku menggugurkan kandungan itu. Aku takut. Tapi, aku lebih takut lagi pada ayah.
Artikel Terkait
Hanya Lelaki Tua yang Membuatku Bahagia
Mungkinkah Aku Bisa Lepas dari Jeratnya
Kenapa Aku Selalu Jatuh di Kubangan yang Sama?
ART pun Jadi Kompensasi Gairahku
Haruskah Pernikahan Ini Kuteruskan?
Papa Mengajariku Arti Pengkhianatan
Gusti, Persatukanlah Kami untuk Menggugurkan Dosa Ini