Sebenarnya, berat bagiku untuk bertutur, menceritakan kesakitanku. Tapi pikiranku kini membuntu, ditutupi pada kenangan buruk atas dosa-dosa yang pernah aku lakukan. Dan kukira, cara terbaik untuk melepaskan beban ini adalah membaginya, sehingga banyak orang yang dapat pelajaran dari keburukan yang telah aku lakukan ini.
Aku memiliki empat saudara. Aku anak ketiga, dan satu-satunya lelaki. Masa sekolahku biasa saja, tak ada prestasi yang terlalu menonjol. Cuma, aku memiliki banyak teman. Ibuku sering mengejekku dengan ucapan yang sampai kini aku kenang dengan tertawa, "Yan, kamu itu berbohong pun bisa meyakinkan."
Itu celaan Ibu, karena ia melihat ada satu bakatku yang kadang kumanfaatkan ke arah yang tidak benar, "jago ngomong". Dan, bakat itu juga yang membuat aku gampang dekat dengan gadis-gadis.
Setamat SMA, aku meneruskan kuliah di sebuah PTS di Jakarta. Aku ikut paman, adik dari ibu. Tapi, hanya tiga tahun di sana, aku keluar, dan memilih kembali ke kota ini, membuka usaha yang telah aku mulai di Jakarta, mendirikan warung tenda. Dan, usahaku itu berkembang di sini. Dari warung/kafe tenda kecil, yang hanya membuat menu-menu ringan seperti mie rebus dan roti bakar, aku bisa menabung. Dan ketika bom warung tenda selesai, aku punya tabungan yang sangat cukup untuk membuat usaha lain, rental PS plus kafe internet dan games, plus barber shop. Dan satu lagi, ruko fitnes centre.
Ketika mulai berbisnis rental PS, laptop, dan kafe internet itulah aku mengenal Wangi, salah seorang mahasiswa yang tengah mengerjakan skripsi. Aku membantunya, dan kami kemudian dekat.
Baca Juga: Dan Senja pun Pergi
Ia cantik, dan tentu, wangi. Jujur saja, ia anak orang kaya. Dan, meski semula aku tak terlalu memasalahkan hal itu, tapi setelah hubungan kami berjalan satu tahun, ketidakcocokan mulai muncul.
Orangtuanya tidak respek padaku, yang tak sarjana. Dan ketika Wangi bekerja di bagian pembukuan sebuah swalayan, ia mulai berani menentang keinginan ayahnya. Ia tetap memilihku.
Aku sendiri sudah tidak begitu lagi respek pada dirinya. Pandangan orangtuanya yang sangat sinis membuat aku kecut. Satu-satunya yang membuat aku bertahan adalah, aku telah berhubungan intim dengan Wangi. Dan aku kasihan jika harus meninggalkan dia.
Tapi, pikiranku yang telah bercabang, membuat aku gampang dekat dengan gadis lain. Aku kemudian kenal dengan Lintang, yang sering menggunakan tempatku untuk latihan beban fitnes.
Semula aku tidak begitu tertarik dengannya. Sebabnya satu, Lintang terlalu matang untukku. Usia dia lebih tua dariku, 3 tahun. Tapi, kedekatan kami selanjutnya membuat itu tak lagi jadi masalah. Jujur saja, ia sangat seksi. Dan aku jatuh suka, barangkali bernafsu. Dan ia menanggapi. Aku lalu seperti lupa Wangi, meski masih sering bertemu, dan berhubungan intim juga.
Tapi, ganjalan baru muncul lagi. Orang tuaku tidak suka dengan Lintang. Ibu merasa Lintang terlalu tua. Dan ayah meminta aku untuk berpikir ulang. Lagi-lagi aku guncang.
Tapi, bukan itu yang menjadi keguncangan utama. Wangi tiba-tiba mengetahui aku telah menduakannya. Dan ia mengamuk, menangis, mengancam akan gantung diri. Dia memaki-maki aku, dan menuntut pertanggungjawaban atas hubungan kami yang sudah terlalu jauh.
Dan, di dalam kepanikan itu, aku pun mendapat kabar yang sangat menyakitkan bahwa Lintang ternyata seorang janda, dan mempunyai anak di Jepara.
Aku kian kalut. Memang, aku sudah mulai cinta dengan Lintang, dan tidak memasalahkan usianya. Tapi kalau janda? Bagaimana dengan orang tuaku? Duh, Gusti?
Artikel Terkait
Kau yang Mulai Dosa Ini, Kau juga yang Harus Tanggung Jawab, Dana...
Hanya Lelaki Tua yang Membuatku Bahagia
Mungkinkah Aku Bisa Lepas dari Jeratnya
Kenapa Aku Selalu Jatuh di Kubangan yang Sama?
ART pun Jadi Kompensasi Gairahku
Haruskah Pernikahan Ini Kuteruskan?
Papa Mengajariku Arti Pengkhianatan