BARANGKALI, banyak orang akan mencapku sebagai wanita yang tidak benar, nakal, liar, perusak rumah tangga orang, dan sebutan miring lainnya. Dan, secara lahiriah, memang itulah yang terjadi. Aku lebih banyak berhubungan dengan pria-pria matang alias paro baya.
Namun, sungguh, tak pernah ada motif ekonomi di dalam hubungan itu. Meski tidak akan ada yang percaya, jujur aku katakan, aku mencintai pria-pria matang itu. Ya, jatuh cinta.
Panggil aku Pritta (26), karyawan di sebuah radio swasta. Kata ibu, dulu ayah sengaja menamaiku Pritta, karena ingin aku jadi wanita cantik.
Dan keinginan ayah terwujud. Aku memang tidak begitu cantik, apalagi jika dibandingkan dengan para pemain sinetron sekarang. Tapi wajahku sangat-sangat tak membosankan. Manis kata ibu, apalagi jika aku tertawa, lesung pipiku yang dalam akan segera terbuka.
Dan karena manis dan tidak membosankan itulah, aku amat gampang berteman dengan siapa saja, para pria terutama. Sejak SMP aku sudah pacaran, cinta monyet tepatnya.
Perasaan sayang yang matang, kuakui muncul saat aku SMA, kelas dua. Dan rasa itu begitu luar biasa. Rasanya dunia jadi begitu ajaib, penuh warna. Namun, hanya beberapa saat rasa itu berkuasa, selebihnya tinggal kesedihan. Aku tak memperoleh apa yang kuangankan.
Iwan pacarku, tidak perhatian, egois, dan lebih banyak menuntut. Rasanya capek. Setiap kangen, kami bertemu hanya untuk bertengkar. Maka, saat dia tamat SMA, hubungan kami pun selesai. Sakit sekali rasanya, juga lega.
Kuliah, aku pun dekat dengan beberapa pria. Semester awal, aku sudah senang dengan kakak kelas. Dan kami pun pacaran. Tapi, kembali kejadian tak menyenangkan itu kualami. Munif, pacarku itu, sama saja dengan Iwan, egois dan kasar. Dia yang lebih banyak menuntut pengertianku, lebih sering marah, dan meninggalkanku dalam tangis usai pertengkaran.
Dengan berat, aku pun memutuskannya.
Pria Muda yang Egois
Lalu, aku istrahat setahun, tak pernah mau berhubungan dengan pria. Tapi, semester 4, rasaku kembali terbangunkan dengan kehadiran Yudi, mahasiswa fakultas lain. Ia sangat jantan, pintar, dan halus. Dua minggu kenal, aku pacaran dengannya. Dan rasaku kembali membuncah, semua kuharapkan indah.
Namun, siklus hidupku tak juga berubah. Yudi bahkan kolokan sekali. Belum apa-apa, kalau ke kontrakannya, aku sudah harus merapikan kamarnya, menyetrika, dan membantunya mengetikkan tugas. Tak ada waktu untuk bermanja-manja. Bahkan, tiap kali keinginanku untuk bermanja kuungkapkan, dia selalu mencela.
"Seperti anak SMA saja! Matang sedikit kenapa?"
Sakit sekali rasanya dicerca semacam itu. Apakah salah jika aku menuntut perhatiannya?
Apakah salah jika aku ingin dia perlakukan sebagai wanita yang spesial, istimewa?
Hanya 6 bulan, aku kemudian pisah darinya. Meski dia berjanji dan mengiba akan berubah, aku tak lagi percaya. Aku tak lagi menerimanya.